Judul blog ini adalah gambaran dari situasi kondisi kota Jakarta yang selalu tidak pernah lekang dari kesibukan.
Jakarta yang dulunya dihuni orang-orang Betawi, sejalan dengan berjalannya waktu, maka Jakarta berpenduduk paling heterogen di Indonesia.
Suku Betawi adalah salah satu suku bangsa Indonesia, penghuni awal Kota Jakarta dan sekitarnya.
Sejarawan
Sagiman MD, menyatakatan bahwa eksistensi suku Betawi telah ada, sejak
Zaman Batu Baru (Neoliticum), dimana penduduk asli Betawi berasal dari
Nusa Jawa; orang Jawa, Sunda, dan Madura.
Pendapat senada datang
dari Uka Tjandarasasmita yang mengeluarkan monografinya "Jakarta Raya
dan Sekitarnya Dari Zaman Prasejarah Hingga Kerajaan Pajajaran (1977),”
mengungkapkan bahwa, Penduduk Asli Jakarta telah ada pada sekitar tahun
3.500 – 3.000 SM (Sebelum Masehi).
Selain penelitian di atas, ada
pula penelitian yang dilakukan Lance Castles, yang menitik beratkan
pada empat sketsa sejarah yakni:
- Daghregister, yaitu catatan harian tahun 1673 yang dibuat Belanda yang berdiam di dalam kota benteng Batavia
- Catatan Thomas Stanford Raffles dalam History of Java pada tahun 1815
- Catatan penduduk pada Encyclopaedia van Nederlandsch Indie tahun 1893
- Sensus Penduduk yang dibuat penjajah Hindia Belanda pada tahun 1930
Dalam semua sketsa sejarah Lance
Castles, yang dimulai pada tahun 1673 (Pada Akhir Abad ke 17), sketsa
inilah yang oleh banyak ahli sejarah lainnya dirasakan kurang lengkap,
untuk sebuah penjelasan asal mula Suku Betawi. Hal ini dikarenakan dalam
Babad Tanah Jawa pada abad ke 15 (tahun 1400-an Masehi), sudah
ditemukan kata "Negeri Betawi"
Etimologi Betawi
Mengenai asal mula kata Betawi, menurut ahli sejarah ada beberapa acuan:
- Pitawi (Bahasa Melayu Polynesia Purba)
yang artinya “Larangan.” Kosa kata ini mengacu pada komplek situs di
daerah “Batu Jaya,” Karawang. Hal ini diperkuat oleh sejarahwan Ridwan
Saidi, dengan mengaitkan bahwa Kompleks Bangunan tersebut merupakan
sebuah Kota Suci yang dahulunya tertutup.
- Betawi (Bahasa Melayu Brunei) mempunyai
makna giwang. Nama ini mengacu pada ekskavasi di Babelan, Kabupaten
Bekasi. Dimana di wilayah ini hingga tahun 1990-an masih sempat
ditemukan banyak giwang emas dari abad ke-11 M.
- Flora Guling Betawi (Cassia Glauca),
Famili Papilionaceae adalah sejenis tanaman Perdu, yang kayunya bulat
kokoh seperti guling, tetapi mudah diraut. Zaman dulu jenis kayu ini
banyak digunakan untuk pembuatan gagang senjata; keris atau gagang
pisau. Tanaman ini banyak tumbuh di Nusa Kelapa, beberapa daerah di
pulau Jawa dan Kalimantan. Sedangkan di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat,
Guling Betawi disebut Kayu Bekawi. Perbedaan pengucapan pada penggunaan
kosakata "k" dan "t" antara Kapuas Hulu dan Betawi Melayu, ini biasa
terjadi, seperti kata tanya “apakah” atau “apatah” yang memiliki makna
yang sama. Kemungkinan nama Betawi berasal dari jenis tanaman bisa jadi
benar. Sejarahwan Ridwan Saidi; beberapa nama jenis flora selama ini
memang digunakan pada pemberian nama tempat, atau daerah yang ada di
Jakarta. Sebagai contoh; Gambir, Krekot, Bintaro, Grogol dlsb. "Seperti
Kecamatan Makasar, nama ini tak ada hubungannya dengan orang Makassar,
melainkan diambil dari jenis Rerumputan." Dengan demikian kosa kata
"Betawi" bukanlah berasal dari kata "Batavia".
Sedangkan Batavia merupakan nama Latin
untuk Tanah Batavia, yang pada zaman Romawi, diperkirakan terletak di
sekitar kota Nijmegen, Belanda, dimana saat ini sisa-sisa lokasi
tersebut dikenal sebagai “Betuwe”.
Selama Renaisans, sejarawan
Belanda mencoba untuk melegitimasi Batavia menjadi sebuah status "Nenek
Moyang" mereka, selanjutnya menyebut diri sebagai Orang-orang Batavia.
Hal ini yang membuat munculnya Republik Batavia, dan mengambil nama "Batavia" untuk nama koloni mereka.
Seperti yang terjadi di Indonesia, dimana mereka mengganti nama Kota Jayakarta menjadi Batavia dari tahun 1619-1942.
Setelah 1942 nama Batavia diubah lagi menjadi Djakarta.
Nama
Batavia juga digunakan di Suriname, dan di Amerika Serikat, karena
mereka juga mendirikan kota Batavia, Newyork, hingga ke barat Amerika
Serikat, seperti; Batavia, Illinois, dekat Chicago, dan Batavia, Ohio.
Sedangkan
penggunaan kata Betawi sebagai sebuah suku, pada masa hindia belanda,
diawali dengan pendirian sebuah organisasi yang bernama “Perkoempoelan
Kaoem Betawi” pada tahun 1923, yang diprakarsai oleh Husni Thamrin.
Sejarah
3500 – 3000 SM (Sebelum Masehi)
- Menurut Sejarawan Sagiman MD, sejarah Betawi sudah ada sejak Zaman Batu (Neolitikum).
- Menurut Yahya Andi Saputra, penduduk
asli Betawi adalah penduduk Nusa Jawa, yang merupakan Satu Kesatuan
Budaya. Bahasa, Kesenian, dan Adat Kepercayaan, tetapi kemudian
menjadikan mereka sebagai suku sendiri. Yang kemungkinan disebabkan
oleh, antara lain:
- Pertama, munculnya Kerajaan-kerajaan.
- Kedua, Kedatangan bangsa dan Pengaruh bangsa dari luar Nusa Jawa.
- Ketiga, adanya Perkembangan Kemajuan Ekonomi dari masing-masing daerah.
Abad ke-2
Menurtut Yahya Andi
Saputra, Jakarta dan sekitarnya termasuk wilayah kekuasaan Salakanagara
yang terletak di kaki Gunung Salak, Bogor.
Abad ke 5
Penduduk
asli Betawi adalah rakyat kerajaan Salakanagara, dimana perdagangan
dengan Cina telah maju, yang ditandai oleh adanya pengiriman Utusan
Dagang ke Cina dari Salakanagara pada tahun 432.
Pada akhir abad
ke-5 berdiri kerajaan Hindu Tarumanagara di tepi kali Citarum, yang
dianggap oleh sebagian sejarawan, bahwa Tarumanagara merupakan
kelanjutan dari Kerajaan Salakanagara, yang memindahan ibukota
kerajaannya dari kaki Gunung Salak ke Tepi Kali Citarum.
Penduduk asli Betawi menjadi rakyat
kerajaan Tarumanagara, dengan Ibukota Kerajaan yang terletak di tepi
Sungai Candrabagha, yang oleh Poerbatjaraka diidentifikasi dengan sungai
Bekasi.
Candra berarti bulan atau sasi, menjadi Bhagasasi / Bekasi,
yang terletak di sebelah timur pinggiran Jakarta. Di sinilah, menurut
perkiraan Poerbatjaraka, letak istana kerajaan Tarumanengara (Hindu).
Abad ke-7
Pada abad ke-7 Kerajaan Tarumanagara ditaklukkan Kerajaan Sriwijaya (Budha).
Pada
saat inilah berdatangan penduduk Melayu dari Sumatera, kemudian mereka
mendirikan pemukiman di pesisir Jakarta, yang kemudian lambat laun
(dengan pola asimilasi) bahasa Melayu menggantikan kedudukan bahasa Kawi
sebagai bahasa pergaulan sehari-hari.
Bahasa Melayu mula-mula hanya dipakai di
daerah pesisir saja, namun kemudian meluas hingga ke daerah kaki Gunung
Salak dan Gunung Gede.
Bagi masyarakat Betawi keluarga punya
arti penting. Kehidupan berkeluarga dipandang suci. Anggota keluarga
wajib menjunjung tinggi martabat keluarga.
Abad ke-10
Sekitar abad ke-10,
terjadi persaingan antara orang Melayu (Kerajaan Sriwijaya) dengan Wong
Jawa yang tak lain adalah Kerajaan Kediri.
Persaingan yang berujung dengan
peperang, dimana orang-orang Cina demi kelangsungan perniagaan mereka,
mereka berdiri di dua kaki, atau sebagian berpihak ke Kerajaan
Sriwijaya, dan sebagian berpihak ke Kerajaan Kediri.
Usai perang, kendali lautan dibagi dua;
- Sebelah Barat mulai dari Cimanuk, juga Pelabuhan Sunda dikendalikan Sriwijaya.
- Sebelah timur mulai dari Kediri dikendalikan Kediri.
Sriwijaya meminta Syailendra di Jawa
Tengah untuk membantu mengawasi perairan teritorial Sriwijaya di Jawa
bagian barat. Tetapi Syailendara lambat-laun tidak sanggup, akhirnya
Sriwijaya terpaksa mendatangkan migran suku Melayu Kalimantan bagian
barat ke Kalapa.
Pada periode inilah terjadi penyebaran
bahasa Melayu yang signifikan di Kerajaan Kalapa, karena gelombang
imigrasi yang lebih besar daripada penduduk asli yang menggunakan bahasa
Sunda Kawi sebagai lingua franca di Kerajaan Kalapa.
Periode Kolonial Eropa
Abad ke-16
Perjanjian
antara Surawisesa (Raja Kerajaan Pajajaran) dengan bangsa Portugis pada
tahun 1512, mengizinkan Portugis untuk membangun suatu komunitas di
Sunda Kalapa, yang mengakibatkan perkawinan campuran antara penduduk
lokal dengan bangsa Portugis, yang pada akhirnya menurunkan darah
campuran Portugis.
Dari komunitas campuran inilah lahir musik Keroncong, atau dikenal sebagai Keroncong Tugu.
Setelah VOC menjadikan Batavia sebagai
pusat kegiatan niaganya, VOC memerlukan banyak tenaga kerja untuk
membuka lahan pertanian, dan membangun roda perekonomian kota ini.
Saat itulah VOC banyak membeli budak dari penguasa Bali, karena saat itu di Bali masih berlangsung praktik perbudakan.
Olehkarenanya masih ada tersisa
kosa-kata dan tata-bahasa Bali dalam bahasa Betawi saat ini. Kemajuan
perdagangan Batavia menarik berbagai suku bangsa dari penjuru Dunia,
juga seperti; Tiongkok, Arab dan India untuk bekerja di kota ini.
Pengaruh suku bangsa asing yang datang inilah, terlihat dari busana pengantin Betawi yang banyak unsur Arab dan Tiongkok.
Berbagai
nama tempat di Jakarta menyisakan petunjuk sejarah mengenai datangnya
berbagai suku bangsa lain ke Batavia, seperti; Kampung Melayu, Kampung
Bali, Kampung Ambon, Kampung Jawa, Kampung Makassar dan Kampung Bugis.
Rumah Bugis di bagian utara Jl. Mangga
Dua di daerah kampung Bugis yang dimulai pada tahun 1690. Pada awal abad
ke 20 ini masih terdapat beberapa rumah seperti ini di daerah Kota.
Abad ke-20
Menurut Uka Tjandarasasmita penduduk asli Jakarta telah ada sejak 3500-3000 tahun sebelum masehi.
Antropolog lainnya, Prof Dr Parsudi
Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal
pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan
sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas
tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang
Rawabelong.
Pengakuan terhadap adanya orang Betawi
sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik
dalam lingkup yang lebih luas (pada saat itu adalah Hindia Belanda),
yakni dengan munculnya Perkoempoelan Kaoem Betawi pada tahun 1923, yang
digagas oleh Husni Thamrin, sebagai tokoh masyarakat Betawi.
Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.
Ada
juga yang berpendapat bahwa orang Betawi tidak hanya mencakup
masyarakat campuran dalam benteng Batavia yang dibangun oleh Belanda,
tetapi juga mencakup penduduk di luar benteng tersebut, yang disebut
sebagai masyarakat proto Betawi.
Penduduk lokal di luar benteng Batavia, kala itu sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera.
Sejak
akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta
dibanjiri pendatang dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi,
menjadi warga tuan rumah yang minoritas.
Pada tahun 1961, 'suku' Betawi bejumlah
kurang lebih 22,9 persen dari + 2,9 juta penduduk Jakarta pada saat itu,
hal ini menunjukan orang-orang Betawi semakin terdesak ke pinggiran,
bahkan tergusur ke luar Jakarta.
Seni dan kebudayaan
Seni
dan Budaya asli Penduduk Jakarta atau Betawi dapat dilihat dari temuan
arkeologis, semisal giwang-giwang yang ditemukan dalam penggalian di
Babelan, Kabupaten Bekasi yang berasal dari abad ke 11 masehi.
Selain
itu budaya Betawi juga terjadi dari proses campuran budaya antara suku
asli dengan beragam etnis pendatang atau yang biasa dikenal dengan
istilah Mestizo .
Sejak zaman dahulu, wilayah bekas
kerajaan Salakanagara, yang kemudian dikenal sebagai "Kalapa" (Sekarang
Jakarta), merupakan wilayah yang menarik pendatang dari dalam dan luar
Nusantara.
Percampuran budaya, sudah ada sejak masa
Kepemimpinan Raja Pajajaran, Prabu Surawisesa, dimana Prabu Surawisesa
mengadakan perjanjian dengan Portugal, dari hasil percampuran budaya
antara Penduduk asli, dan Portugal inilah lahir Keroncong Tugu.
Suku-suku
yang mendiami Jakarta sekarang antara lain, Jawa, Sunda, Melayu,
Minang, Batak, dan Bugis. Selain dari penduduk Nusantara, budaya Betawi
juga banyak menyerap budaya asing, seperti budaya Arab, Tiongkok,
India, dan Portugis.
Suku Betawi sebagai warga asli Jakarta agak
tersingkirkan oleh pendatang. Mereka keluar dari Jakarta dan pindah ke
wilayah-wilayah yang ada di provinsi Jawa Barat dan provinsi Banten.
Budaya Betawi pun tersingkirkan oleh budaya lain baik dari Indonesia
maupun Budaya Barat dan Timur Tengah.
Bahasa
Penduduk
asli Betawi berbahasa Kawi (Jawa kuno), dengan menggunakan huruf
hanacaraka. Penduduk asli Betawi telah berdiam di Jakarta, dan
sekitarnya sejak Zaman Batu.
Sifat campur-aduk dalam Bahasa
Betawi atau Melayu Dialek Jakarta atau Melayu Batavia adalah cerminan
dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkawinan
berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di
Nusantara maupun kebudayaan asing.
Hingga kini, masih banyak nama
daerah, dan nama sungai yang masih tetap menggunakan bahasa Sunda,
seperti; Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal dari
Cihideung dan kemudian berubah menjadi Cideung, dan tearkhir menjadi
Cideng), dan lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan yang
digambarkan dalam naskah kuno Bujangga Manik yang saat ini disimpan di
perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris.
Dialek Betawi terbagi
atas dua jenis, yaitu dialek Betawi tengah dan dialek Betawi pinggir.
Dialek Betawi tengah umumnya berbunyi "é" sedangkan dialek Betawi
pinggir adalah "a". Dialek Betawi pusat atau tengah seringkali dianggap
sebagai dialek Betawi sejati, karena berasal dari tempat bermulanya kota
Jakarta, yakni daerah perkampungan Betawi di sekitar Jakarta Kota,
Sawah Besar, Tugu, Cilincing, Kemayoran, Senen, Kramat, hingga batas
paling selatan di Meester (Jatinegara).
Dialek Betawi pinggiran
mulai dari Jatinegara ke Selatan, Condet, Jagakarsa, Depok, Rawa Belong,
Ciputat hingga ke pinggir selatan dan pinggir Jawa Barat. Contoh
penutur dialek Betawi tengah adalah Benyamin S., Ida Royani dan Aminah
Cendrakasih, karena mereka memang berasal dari daerah Kemayoran dan
Kramat Sentiong.
Sedangkan contoh penutur dialek Betawi
pinggiran adalah Mandra dan Pak Tile. Contoh paling jelas adalah saat
mereka mengucapkan kenape/kenapa'' (mengapa). Dialek Betawi tengah jelas
menyebutkan "é", sedangkan Betawi pinggir bernada "a".
Musik
Dalam
bidang kesenian, orang Betawi memiliki Gambang Kromong yang berasal
dari seni musik Tionghoa, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada
tradisi musik Arab, orkes Samrah berasal dari Melayu, Keroncong Tugu
dengan latar belakang Portugis, dan Tanjidor yang berlatarbelakang
ke-Belanda-an.
Saat ini Suku Betawi terkenal dengan seni Lenong,
Gambang Kromong, Rebana Tanjidor, dan Keroncong. Betawi juga memiliki
lagu tradisional seperti "Kicir-kicir".
Tari
Seni
tari Betawi merupakan perpaduan antara unsur-unsur budaya masyarakat
yang ada di dalamnya. Contoh: tari Topeng Betawi, Yapong yang
dipengaruhi tari Jaipong Sunda, Cokek dan lain-lain.
Pada awalnya,
seni tari Betawi dipengaruhi budaya Sunda dan Tiongkok, seperti tari
Yapong dengan kostum penari khas pemain Opera Beijing.
Drama
Drama
tradisional Betawi, antara lain: Lenong, dan Tonil. Pementasan lakon
tradisional ini biasanya menggambarkan kehidupan sehari-hari rakyat
Betawi, dengan diselingi lagu, pantun, lawak, dan lelucon jenaka.
Kadang-kadang pemeran lenong dapat berinteraksi langsung dengan
penonton.
Cerita rakyat.
Cerita rakyat yang berkembang di Jakarta
selain cerita rakyat yang sudah dikenal seperti Si Pitung, juga dikenal
cerita rakyat lain seperti serial si jampang yang mengisahkan
jawara-jawara Betawi, baik dalam perjuangan maupun kehidupannya yang
dikenal "keras".
Selain mengisahkan jawara atau pendekar dunia
persilatan, juga dikenal cerita Nyai Dasima yang menggambarkan kehidupan
zaman kolonial. cerita lainnya ialah Mirah dari Marunda, Murtado Macan
Kemayoran, Juragan Boing dan yang lainnya.
Senjata tradisional
Senjata khas Jakarta adalah bendo, atau golok yang bersarungkan terbuat dari kayu.
Rumah tradisional
Rumah tradisional/adat Betawi adalah rumah kebaya
Kepercayaan
Sebagian
besar Orang Betawi menganut agama Islam, tetapi yang menganut agama
Kristen; Protestan dan Katolik juga ada namun hanya sedikit sekali. Di
antara suku Betawi yang beragama Kristen, ada yang menyatakan bahwa
mereka adalah keturunan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa
Portugis.
Hal ini wajar karena pada awal abad ke-16, Surawisesa,
Raja Pajajaran mengadakan perjanjian dengan Portugis yang membolehkan
Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kalapa,
sehingga terbentuk komunitas Portugis di Sunda Kalapa.
Komunitas Portugis ini sekarang masih ada dan menetap di daerah Kampung Tugu, Jakarta Utara.
Profesi
Di
Jakarta, orang Betawi sekarang sebagai hasil asimilasi antar suku
bangsa, sebelum era pembangunan orde baru, terbagi atas beberapa profesi
menurut lingkup wilayah (kampung) mereka masing-masing.
Kampung
Kemanggisan dan sekitar Rawabelong, banyak yang berprofesi petani
kembang (anggrek, kemboja jepang, dan lain-lain). Secara umum banyak
menjadi guru, pengajar, dan pendidik, antara lain K.H. Djunaedi, K.H.
Suit, dll. Profesi pedagang, dan pembatik juga banyak digelutinya.
Kampung Kuningan adalah tempat para peternak sapi perah.
Kampung
Kemandoran dimana tanah tidak sesubur Kemanggisan. Mandor, bek, jagoan
silat banyak di jumpai di wilayah ini, antara lain; Ji'ih teman
seperjuangan Pitung dari Rawabelong.
Kampung Paseban banyak warga
adalah kaum pekerja kantoran sejak zaman Belanda dulu, meski kemampuan
pencak silat mereka juga tidak diragukan. Guru, pengajar, ustadz, dan
profesi pedagang eceran juga kerap dilakoni.
Warga Tebet adalah
orang-orang Betawi gusuran dari Senayan, karena dicanangkannya program
Ganefo yang dicetuskan oleh Bung Karno, guna pembuatan Kompleks Olah
Raga / Gelora Bung Karno yang kita kenal sekarang.
Perilaku dan sifat
Asumsi
kebanyakan orang tentang masyarakat Betawi ini jarang yang berhasil,
baik dalam segi ekonomi, pendidikan, dan teknologi. Padahal tidak
sedikit orang Betawi yang berhasil. Beberapa dari mereka adalah Muhammad
Husni Thamrin, Benyamin Sueb, dan Fauzi Bowo Gubernur DKI Jakarta (2007
- 2012) .
Ada beberapa hal yang positif dari orang Betawi antara
lain jiwa sosial mereka sangat tinggi, walaupun kadang-kadang dalam
beberapa hal terlalu berlebihan, dan cenderung tendensius.
Sumber :
Jakarta Sehat